Saya sering mendengar mitos dikalangan para remaja bahwa seorang wanita yang sudah tidak perawan dapat diketahui dari tanda-tanda fisiknya seperti pantat yang turun, payudara yang mengendur, atau cara berjalan yang lurus.
Pertanyaannya apakah mitos tersebut memang sepenuhnya benar? dan pertanyaan berikutnya yang sering saya jumpai juga adalah, apakah pendarahan yang dialami pada saat malam pertama oleh seorang gadis merupakan suatu tanda telah pecah selaput daranya? Lantas bagaimana jika tidak terjadi pendarahan? Apakah sang gadis perlu dipertanyakan keperawanannya?
Mitos sebenarnya adalah sebuah pemahaman yang berasal dari budaya-budaya di lingkungan dimana pemahaman tersebut sebenarnya keliru tetapi karena dipercaya oleh sebagian masyarakat sehingga menjadi seolah – olah benar, begitu juga dengan mitos keperawanan. Selama ini masyarakat berpendapat bahwa keperawanan seseorang akan hilang ketika terjadi suatu aktivitas seksual berupa hubungan seksual dimana akan menyababkan pecahnya selaput dara, padahal selaput dara seorang wanita kondisinya berbeda antara satu dengan yang lainnya. Ada wanita yang memiliki selaput dara yang tipis sehingga apabila melakukan hubungan seksual akan lebih mudah pecah tetapi ada pula wanita yang memiliki selaput dara yang kuat sehingga akan tidak mudah pecah. Pecahnya selaput dara juga tidak harus melalui hubungan seksual saja, bisa juga melalui aktifitas olahraga, benturan, senam dan sebagainya.
Bentuk selaput dara yang dimiliki oleh satu wanita dengan wanita yang lainnya juga tidak sama. Jika ia memiliki selaput dara yang kaya akan pembuluh darah, otomatis jika selaput dara itu pecah akan terjadi pendarahan yang cukup banyak. Sebaliknya jika selaput dara tersebut tidak memiliki pembuluh darah otomatis ketika pecah juga tidak menimbulkan pendarahan. Jadi pendarahan pada saat hubungan seksual tidak bisa dijadikan tolak ukur menilai keperawanan seorang wanita, justru pendarahan bisa saja terjadi karena pengencangan atau ketegangan pada vagina yang sering disebut sebagai kelainan vaginimus pada saat hubungan seksual dan jika selama melakukan hubungan seksual tidak menimbulkan ketegangan pada vagina tetapi dapat menikmatinya bersama maka kemungkinan terjadi pendarahan sangat kecil bahkan tidak ada. So.. jangan heran jika ada wanita yang telah berulangkali melakukan hubungan seksual namun sama sekali tidak pernah mengalami pendarahan sama sekali.
Kemudian tanda-tanda fisik berupa perubahan bentuk payudara, pantat, dan cara berjalan lurus yang dianggap sebagai tanda wanita sudah tidak perawan juga tidak bisa dibuktikan secara ilmiah,oleh karena perubahan diatas bisa terjadi apabila seorang wanita telah mengalami kehamilan dan persalinan. Sehingga kalau hanya melalui hubungan seks saja ciri-ciri fisik tersebut tidak dapat dijadikan suatu tanda bahwa wanita tersebut sudah tidak perawan.
Pesan saya terhadap para remaja putri, selama bisa menjaga diri dari pergaulan seks bebas serta menjaga cara perpacaran yang sehat maka tidak perlu khawatir akan masalah keperawanan. Ingatlah bahwa wanita ibarat telur diujung tanduk. Keperawanan adalah harta yang paling berharga bagi seorang wanita jadi harus dijaga sampai ke pelaminan, karena selaput dara yang sudah pecah tidak mungkin dapat dikembalikan secara utuh seperti sediakala. Sekali pecah tetap pecah, kalaupun dapat diperbaiki melalui jalan operasi dengan selaput dara palsu dan pembuluh darah tiruan namun tetaplah tidak akan pernah seutuh seperti sedia kala dan yang lebih tahu tentang keperawanan seorang wanita adalah wanita yang bersangkutan itu sendiri. Sedangkan pemahaman masyarakat khususnya kaum pria yang dapat menilai keperawanan seorang wanita melalui ciri – ciri fisiknya adalah suatu asumsi semata