Senyawa yang bermakna dari turunan anilin adalah fenasetin dan metabolit utamanya yaitu parasetamol. Fenasetin dan parasetamol mempunyai ciri khusus karena kerja analgetika dan antipiretika yang baik. Walaupun demikian, kerja antiflogistikanya sangat rendah. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya afinitas terhadap siklooksigenase jaringan ikat.
Pada efek analgetika, selain komponen perifer, komponen sentral ikut berperan juga. Setelah pemberian oral, fenasetin dan parasetamol diabsorbsi secara cepat dan sempurna di usus.
Jalan biotransformasi utama adalah dealkilasi fenasetin menjadi parasetamol, yang selanjutnya mengalami glukuronidasi atau sulfatasi.
Disamping itu terbentuk fenetidin akibat deasetilasi fenasetin. Setelah gugus aminonya dioksidasi, fenetidin membentuk hidroksilamina dan juga senyawa nitroso, yang menimbulkan pembentukan methemoglobin. Pada orang dewasa, hal ini tidak berarti karena methemoglobin segera diuraikan kembali menjadi hemoglobin oleh enzim pereduksi. Akan tetapi pada bayi dan anak-anak, sistem enzim ini belum dibentuk sempurna, sehingga akan berbahaya. Oleh karena itu, kanak-kanak di bawah umur 6 tahun seharusnya diberi parasetamol (sebagai pengganti fenasetin) yang tidak membentuk methemoglobin.
Toksisitas akut fenasetin ditandai dengan keadaan terangsang, delirium dan kejang-kejang. Sebaliknya toksisitas parasetamol terutama ditandai dengan kerja hepatotoksis. Dosis lebih dari 10 g menyebabkan nekrosis sel hati yang parah, kadang-kadang mematikan. Kerja yang merusak sel hati disebabkan oleh ikatan metabolit parasetamol yang reaktif dan terjadi akibat oksidasi mikrosomal pada protein sel hati. Dari metabolit ini, N-asetil-kuinonimina yang paling berarti. Pada dosis lazim, metabolit ini ditangkap oleh glutation dengan membentuk konjugat yang tidak toksik. Baru apabila cadangan glutation habis, terjadi reaksi sitotoksik.
Induktor enzim yang menstimulasi sintesis sitokrom P-450 menurunkan konsentrasi ambang toksik. Tetapi keracunan parasetamol telah berhasil diatasi dengan pemberian donor-SH yang menstimulasi pembentukan glutation. Di samping metionin, juga digunakan sisteamin dan N-asetil-sistein.
Efek samping yang paling berarti pada pemberian kronik fenasetin adalah anemia hemolitik, yang khusus terjadi pada defisiensi glukose-6-fosfat dehidrogenase. Selanjutnya, khusus pada pasien yang menggunakan sejumlah besar sediaan kombinasi yang mengandung fenasetin dalam waktu yang lama, harus diperhitungkan terjadinya kerusakan ginjal yang parah (nefritis interstisial, nekrosis papilla, insufisiensi ginjal ) serta nisbah terjadinya karsinoma pelvis renal yang tinggi. Berdasarkan ini, fenasetin telah diganti dengan parasetamol dalam berbagai sediaan. Walaupun demikian sampai sekarang tidak dijamin sempurna bahwa pemberian parasetamol dalam waktu lama lebih kurang toksik terhadap ginjal dibandingkan dengan fenasetin.
Fenasetin dahulu banyak digunakan. Tetapi bahayanya kalau digunakan dalam jangka waktu lama dengan dosis yang besar dapat mengakibatkan methaemoglobinaemia (menghasilkan oksidasi hemoglobin sehingga beracun). Karena kerja dari fenasetin yang cukup membahayakan itu, maka sekarang sudah jarang digunakan dan diganti dengan parasetamol sesuai dengan keputusan menteri kesehatan baru-baru ini, maka obat-obat analgesik yang mengandung fenasetin termasuk obat keras dan hanya dapat dibeli dengan resep dokter.
Pustaka :
Mutschler, E., 1991, Dinamika Obat, Edisi Kelima, 199-201, Penerbit ITB, Bandung.
Widjajanti, N.,1988, Obat Obatan, 35, Penerbit Kanisius, Yogyakarta
Home » farmakokinetika klinik » MAKALAH METABOLIT AKTIF FENASETIN