Suatu terapi yang optimal memerlukan penentuan obat secara tepat, yang dapat dilakukan dengan dukungan diagnosis yang akurat, pengetahuan tentang kondisi klinis pasien dan penguasaan farmakoterapi. Setelah obat ditentukan, pertanyaan yang kemudian timbul adalah: berapa banyak, berapa sering dan berapa lama obat tersebut dibutuhkan? “Berapa banyak” perlu dijawab karena timbulnya intensitas efek obat (terapetik maupun toksik) umumnya tergantung dosis. “Berapa sering” dipertanyakan karena respons terapetik akan menurun setelah selang waktu tertentu sesudah minum obat sehingga pemberian obat mungkin perlu berulang-ulang, dan pertanyaan “berapa lama” perlu dijawab agar dapat dicapai keseimbangan antara keberhasilan (kesembuhan) dengan resiko pengobatan (toksisitas, efek samping maupun ekonomik)
Berdasarkan penelitian in vitro maupun in vivo, ternyata intensitas efek farmakologik suatu obat tergantung pada kadar obat tersebut dalam cairan tubuh yang berada di sekitar tempat aksi. Dengan demikian, kemudian timbul pemikiran bahwa mestinya efek farmakologik dapat dioptimalkan dengan mengatur kadar obat di tempat aksinya, selama periode waktu tertentu.
Pada umumnya efek obat tergantung pada kadarnya dalam sirkulasi sistemik, maka bisa dimengerti bahwa efek obat akan menurun/hilang setelah selang beberapa waktu dari saat pemberian obat. Selang waktu ini bervariasi, tergantung dari laju eliminasi obat dalam tubuh, atau dengan kata lain tergantung pada waktu paruh eliminasi (T1/2)nya. Obat dengan nilai T1/2 panjang mungkin cukup dengan pemberian 1 x sehari (misalnya fenobarbital). Dengan demikian, dapat dipahami pula mengapa seringkali diperlukan pemberian dosis berulang pada pengobatan untuk penyakit-penyakit tertentu.
Secara definitif, T1/2 adalah waktu yang diperlukan agar kadar obat dalam sirkulasi sistemik berkurang menjadi separuhnya. Nilai T1/2 ini banyak digunakan untuk memperkirakan berbagai kondisi kinetik, misalnya kapan obat akan habis dari dalam tubuh, kapan sebaiknya dilakukan pemberian ulang (interval pemberian), kapan kadar obat dalam sirkulasi sistemik mencapai keadaan tunak (steady state) pada pemberian berulang.
Plot antara konsentrasi obat dalam plasma (Cp) terhadap waktu (t) menghasilkan nilai AUC (Area Under Curve). Nilai ini menggambarkan derajat absorpsi, yakni berapa banyak obat diabsorpsi dari sejumlah dosis yang diberikan. Dengan membandingkan nilai AUC pemberian ekstravaskuler terhadap AUC intravena suatu obat dengan dosis yang sama, akan didapatkan nilai ketersediaan hayati absolut (atau disebut F), yakni fraksi obat yang dapat diabsorpsi dari pemberian ekstravaskuler. Parameter ini juga menunjukkan lama dan intensitas keberadaan obat dalam tubuh. Bila intensitas efek obat sangat erat kaitannya dengan kadar (misalnya untuk obat-obat teofilin, tolbutamid, digoksin, antibiotika), secara tidak langsung nilai ini juga akan menggambarkan durasi dan intensitas efek obat. Gambaran durasi didapatkan dari lamanya kadar obat berada di atas kadar efektif minimal (KEM), dan intensitas efek dapat digambarkan dengan tingginya kadar obat terhadap KEM.Pada gambar di atas dapat diketahui bahwa pemberian dosis berulang bertujuan untuk mempertahankan konsentrasi obat dalam plasma dan durasi. Walaupun konsentrasi dan durasi tetap dipertahankan namun korelasinya terhadap respon tidak selalu baik. Karena kadar obat yang terukur dalam darah justru tidak bertambah tinggi meskipun obat diberikan berulang-ulang (atau yang disebut sebagai steady state). Hal ini terjadi karena tubuh mempunyai kemampuan untuk membentuk kompleks yang akan menyebabkan terjadinya penyesuaian terhadap perubahan yang terjadi. Korelasi buruk dapat terjadi tergantung pada kondisi pasien dan bentuk aktif dari obat (metabolit atau obat utuh).
Sebagai contoh pasien dengan gangguan fungsi ginjal jika obat yang digunakan diekskresikan terutama melalui ginjal dan mempunyai lingkup terapi sempit misalnya amikasin (suatu aminoglikosida). Penurunan fungsi ginjal akan menyebabkan T 1/2 nya memanjang, sehingga pada pemberian dosis berulang dengan interval pemberian yang lazim akan diperoleh kadar tunak yang jauh lebih tinggi dari pada semestinya. Keadaan ini disebut akumulasi. Akumulasi ini menyebabkan Cp lebih tinggi daripada semestinya dan durasi lebih panjang, namun respon yang timbul justru tidak dikehendaki (efek toksik). Karena itu, pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, regimen dosis amikasin, dan juga aminoglikoda lainnya harus diubah, yaitu dengan mengurangi dosis atau menjarangkan interval pemberian sesuai perkiraan T 1/2 nya.
Home » artikel keperawatan » Cp KERAP MEMBERI KORELASI BURUK TERHADAP RESPON (DURASI vs INTENSITAS EXPOSURE)
Cp KERAP MEMBERI KORELASI BURUK TERHADAP RESPON (DURASI vs INTENSITAS EXPOSURE)
Posted by Anonymous
Labels:
artikel keperawatan