Demikian dengan jumlah peserta KB meningkat terus dari 53 ribu pada awal program hingga 27 juta akseptor pada awal 2000. Peningkatan partisipasi pria dalam berKB adalah peserta KB aktif kondom sebesar 40,998 atau 3,87 % Sedangkan pencapaian sampai dengan Agustus 2006 sedikit bergerak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dan masih terus diadakannya sosialisasi tentang program peningkatan partisipasi pria dalam berKB yang diupayakan BKKBN dengan mengadakan sosialisasi pemakaian kondom yang mempunyai dua manfaat yakni sebagai penjarangan kelahiran dan pencegahan penyakit menular.
Keberhasilan program KB di Indonesia tidak bisa lepas dari peran dan partisipasi perempuan sebagai pengambil keputusan untuk menggunakan alat kontrasepsi yang ada dengan tujuan mengatur jarak kelahiran.
Sangat disayangkan ketika melihat angka partisipasi pria, jumlahnya menjadi sangat minim. Lewat ICPD 1994 untuk menargetkan program KB hingga 8%, sejak itu pula tak pernah mencapai hasil yang menggembirakan. Berdasarkan SDKI (1997) hanya 1,1% peserta KB pria secara nasional. Selanjutnya tahun 2003 pencapaiannya hanya naik sedikit yakni 1,3% dan 3,87% tahun 2006.
Banyak kendala yang menghadang dalam kaitannya dengan peningkatan peran pria dalam berKB. Kendala paling utama masih seputar budaya patriarkis dalam masyarakat Indonesia. Pria dianggap paling berkuasa hingga pria pun berhak menentukan mau berKB atau tidak. Kebanyakan dari mereka menginginkan istrinya saja yang berKB.
Demikian berkuasanya pria bahkan untuk berKB istri benar-benar manut pada keinginan suami. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan tahun 1997 terdapat sedikitnya 1% dari 667 istri justru tak menyetujui alat kontrasepsi yang dipilih suami mereka namun dipaksa untuk memakainya.
Sementara 4,5 % istri telah memutuskan alat kontrasepsi yang hendak digunakan. Namun tak disetujui suami. Bahkandi antara istri yang berusia 15-29 tahun, 16% di antaranya menyatakan takan memakai alat kontrasepsi karena ada penolakan dari suami.
Mengapa angka pencapaian keikutsertaan pria berKB bergerak sangat lamban. Penurunan target KB pria dari 8 % menjadi 7,5% apakah mungkin bisa tercapai hingga di tahun 2015.
Hal mendasar yang menjadi penyebab program KB pria masih berjalan di tempat adalah kurangnya sosialiasi ke masyarakat. Beberapa metode KB pria hanya terpatok pada dua pilihan yaitu kondom dan vasektomi yang justru kurang populer keberadaannya dikalangan pria.
Di sisi lain kegagalan di lapangan dalam merekrut kaum pria untuk berKB nampaknya tak lepas dari animo petugas kesehatan sendiri. Kenyataan menunjukkan sedikit sekali petugas kesehatan yang melibatkan suami dalam konsultasi kesehatan terutama dalam perawatan kehamilan dan kelahiran anak.
Para petugas merasa cukup hanya berinteraksi dengan istri. Demikian pula dengan pemberian pelayanan KB banyak petugas kesehatan bahkan dokter sendiri yang kurang proaktif dalam menawarkan kondom kepada pasutri (pasangan suami istri) yang menderita penyakit seks menular.
Oleh karenanya BKKBN perlu membenahi kembali akar masalah yang ada yakni dengan lebih menggalakkan sosialisasi penggunaan kondom pada pria sebagai alternatif KB. Petugas lapangan (PLKB) telah dibekali pula dengan pengetahuan lebih jauh seputar program KB pria terutama vasektomi.
Bahkan vasektomi diyakini suatu saat akan menjadi pilihan yang menggiurkan karena faktor kekuatan ekonomisnya. Soal penurunan target pencapaian KB pria tidak berarti kerja di lapangan secara profesional dikurangi. BKKB tetap punya komitmen tinggi untuk meningkatkan peran pria dalam berKB.
Intinya penantian panjang peran pria dalam berKB harus diminimalisir. Sudah saatnya mitra KB yang potensial seperti pria digalakkan dengan usaha maksimal masyarakat dan lembaga resmi seperti BKKBN baik pusat dan daerah. Soal KB selayaknya pria pun tak boleh ketinggalan.