Pengamat Kependudukan Untan, Yarlina Yacoub SE M.Si dari pengamatannya ada satu kabupaten di bagian utara Kalbar ada keunikan. Kenapa unik? Karena dengan kondisi ekonomi memprihatinkan masyarakat termasuk keluarga miskin (gakin) tetap tidak mau memakai alat kontrasepsi.
Keengganan ini lebih disebabkan adanya pemahaman bahwa anak banyak yang dilahirkan dari suatu keluarga, nantinya akan membantu mencari nafkah. “Sehingga tak jarang di sana kita lihat anak-anak yang putus sekolah dalam usia teramat muda, mereka lebih memilih bekerja membantu orangtua,” paparnya.
Jadi, kata Yarlina, visi keluarga berkualitas yang dikumandangkan BKKBN di sana bisa dikatakan tidak dipahami. “Sebagaimana visi keluarga berkualitas, tidak mematok jumlah anak dalam keluarga, asalkan secara kualitas, baik kesejahteraan dan pendidikannya terjamin. Yang terjadi di sana sebaliknya,” kata Yarlina.
Sejak visi awal BKKBN itu keluarga berencana, yang jelas membuat patokan dua anak cukup, daerah itu seakan tidak tersentuh kebijakan. “Daerah ini seolah tidak pernah tersentuh kebijakan sejak visi keluarga berencana hingga kini visi itu berubah menjadi keluarga berkualitas. “Buktinya, baru atau tidak visinya, juga sosialisasi yang dilakukan tetap tidak memiliki efek apapun terhadap pola perilaku. Karena ini sudah membudaya di lapisan masyarakat tersebut,” terang wanita berkerudung ini.
Sementara, fenomena lain, sejumlah alasan penduduk kota maupun desa dari kalangan masyarakat menengah ke bawah untuk memakai alat kontrasepsi lebih kepada alasan ekonomi. “Mereka menunda kehamilan dan mencegah kelahiran karena faktor ekonomi, terkait biaya perawatan dan membesarkan anak,” katanya.
Kelompok ini dikatakan lebih berorientasi kepada kualitas kesejahteraan dan pendidikan dalam keluarga.(fITRi)