Hak reproduksi merupakan bagian dari hak asasi manusia. Masalah reproduksi berkaitan dengan tubuh dan peran perempuan dalam masyarakat. Perempuan mengalami penindasan dengan alasan fungsi reproduksinya. Dan, perempuan paling banyak mengalami persoalan kesehatan reproduksi mereka.
Reproduksi memiliki dua rumusan persoalan, yaitu reproduksi biologis dan sosial. Reproduksi biologis berkaitan dengan fungsi seksualitas tubuh perempuan untuk melahirkan anak atau melakukan regenerasi. Untuk melahirkan anak, perempuan melakukan hubungan seksual dengan laki-laki sebagai bagian dari proses reproduksi biologis. Reproduksi sosial adalah fungsi seksualitas tubuh perempuan yang berhubungan dengan peran sosial (Mariana Amiruddin, Kesehatan dan Hak Reproduksi Perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan dan The Japan Foundation, 2003).
Berkaitan dengan reproduksi sosial ini perempuan banyak terabaikan. Dengan pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki, akhirnya menempatkan perempuan di wilayah domestik. Kemudian terjadi ketertindasan perempuan dalam menentukan hak reproduksi biologisnya. Hak reproduksi biologis perempuan sering dianggap sebagai hak politik laki-laki sehingga perempuan tidak berhak untuk mengendalikan tubuhnya sendiri. Artinya, perempuan tidak memiliki hak untuk hamil, membatasi kehamilan, menentukan alat kontrasepsi apa yang cocok dalam membatasi kehamilan, melakukan hubungan seksual, melakukan aborsi hingga menolak penyunatan perempuan (genital mutilation). Sesungguhnya, hak reproduksi berarti hal yang sangat “personal” bagi perempuan, karena bagian dari tubuhnyalah yang menjadi pokok persoalan untuk dibahas.
Hak reproduksi perempuan baik biologis maupun sosial, dipandang sebagai hak prerogatif negara. Untuk menjawabnya, Konferensi Kependudukan Dunia tahun 1994 di Kairo mengeluarkan konsensus Internasional yang menyatakan bahwa tiap negara wajib memperhatikan masalah reproduksi perempuan dengan memberinya posisi tawar untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi. Konvensi tersebut membuat dua definisi mengenai kesehatan reproduksi yaitu:
1. Keadaan kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi-fungsi dan prosesnya.
2. Kemampuan orang untuk memperoleh kehidupan seks yang memuaskan dan aman, bereproduksi dan bebas untuk memutuskan kapan dan seberapa sering mereka akan memperoleh anak.
Kesehatan Reproduksi Perempuan Terabaikan
Pembahasan ataupun wacana mengenai kesehatan reproduksi sendiri masih jarang diketemukan apalagi menyangkut hak reproduksi perempuan. Yang sering diperbincangkan adalah sebatas hak reproduksi berkaitan dengan pembatasan kehamilan seorang ibu dan alat kontrasepsi yang akan dipakai. Namun, hak reproduksi sebagai keutuhan hak perempuan sendiri jarang dibicarakan.
Hak reproduksi perempuan berdasarkan hasil kesimpulan Konferensi International tentang Populasi dan Pembangunan (ICPD) PBB di Kairo tahun 1994 dan Konferensi ke-4 tentang Perempuan (FWCW) di Beijing tahun 1995, terdapat beberapa penjelasan mengenai hak reproduksi, yakni:
- Hak untuk hidup, bebas dan rasa aman
- Hak untuk bebas dari diskriminasi berdasarkan gender (pembedaan peran dan posisi perempuan berdasarkan rekonstruksi sosial)
- Hak atas kesehatan, kesehatan reproduksi dan keluarga berencana
- Hak untuk mengubah adat-kebiasaan diskriminatif terhadap perempuan
- Hak untuk menikah dan memulai kehidupan berkeluarga
- Hak untuk memutuskan jumlah anak
dan rentang waktu antar kelahiran
- Hak untuk tidak menjadi korban penyiksaan atau perlakuan lainnya yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan
- Hak untuk bebas dari kekerasan dan eksploitasi seksual
- Hak untuk menikmati perkembangan sains dan melakukan eksperimentasi (Vicki J Semler, Hak-hak Asasi Perempuan: Sebuah Panduan Konvensi-konvensi Utama PBB tentang Hak Asasi Perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan, 2001)
Ketika kalangan feminis memperjuangkan isu tersebut, sebagai bagian dari hak perempuan, maka tampak bahwa telah terjadi beberapa pelanggaran atas hak itu. Misalnya, penggunaan alat-alat kontrasepsi yang tidak sesuai dengan kondisi para ibu atau resiko dalam melakukan aborsi yang tidak aman. Salah satu isu besar berkaitan dengan hak kesehatan reproduksi, yaitu penggunaan alat kontrasepsi yang dilakukan dengan cara pemaksaan oleh pemerintah. Hal demikian terjadi pada 1970-an dengan alasan pengendalian pertumbuhan penduduk (Komnas Perempuan, Peta Kekerasan: Pengalaman Perempuan Indonesia, Oktober 2002).
Pentingnya Pendidikan Seks
Ketika kita berbicara mengenai hak reproduksi, tentu itu akan terkait dengan masalah pendidikan seks. Di dalam sistem pendidikan kita, pendidikan seks bukanlah pendidikan yang penting dibandingkan dengan pendidikan lainnya. Para petinggi negara melihat bahwa pendidikan seks tidak perlu diformalkan dalam sistem pendidikan di sekolah, terutama ketika para siswa dalam masa pertumbuhannya atau saat fungsi alat reproduksinya mulai berkembang. Namun, akhirnya, para siswa mencari tahu sendiri mengenai pelajaran seks yang informasinya kerap menyesatkan mereka.
Dalam ketidaktahuan tersebut, lebih baik bila pengetahuan mengenai seks diinformasikan dengan jelas dan benar agar tidak terjadi kesalahpahaman tentang fungsi alat reproduksi, hak kesehatan reproduksi, manfaat dan kerugian penggunaan hak reproduksi dan alat reproduksi. Sistem pendidikan itu sebenarnya juga diberlakukan di negara-negara lain, terutama negara yang dianggap masih menjunjung adat timur, seperti di Cina. Maraknya situs porno belakangan ini telah meresahkan keluarga apalagi pihak yang paling banyak menikmatinya adalah kalangan remaja. Lalu pemerintah melakukan tindakan dengan memberantas situs porno bersangkuta. Tapi, perlu dicermati bahwa situs porno lahir dari keingintahuan kalangan remaja akan seksualitasnya. Ketika mereka menyadari seksualitas dirinya, saat itulah pencarian untuk mengetahui lebih mendalam yang berkenaan dengan seksualitas itu dilakukan. Bila pemerintah menyadari hal ini, seharusnya ia mampu menyediakan sebuah ruang dalam sistem pendidikan nasional untuk pendidikan seks di sekolah-sekolah di Indonesia.
Data Kantor Statistik Cina menunjukkan bahwa 92,5 persen pelajar sulit menemukan sendiri pemecahan masalah yang berhubungan dengan seksualitasnya. Hanya 2,6 persen yang memperoleh informasi tentang itu dari orangtua mereka, meskipun belum tentu benar (Kompas, Jum’at 13 Agustus 2004 hal 19.).
Pembicaraan mengenai seks merupakan hal yang tabu. Pelajaran seks dianggap tidak perlu. Perilaku "seks bebas" pun berkembang (berganti-ganti pasangan; melakukan hubungan dengan pasangannya tidak dalam ikatan pernikahan dan melakukan hubungan seksual tanpa pengaman). Keingintahuan dan kepuasan akan seks tersalurkan dengan “seks bebas” tanpa siap menerima konsekuensinya. Seks merupakan kebutuhan primitif bagi manusia dan pengendaliannya perlu agar tidak merugikan kehidupan manusia itu sendiri. Pengenalan mengenai seks sangat diperlukan. Dengan memperkenalkan hak reproduksi dan alat reproduksi kepada siswa melalui wacana seks.
Seks bebas masih dianggap melanggar kesusilaan, budaya dan agama dalam masyarakat di Indonesia. Namun, kita tidak bisa menutup mata begitu saja bahwa banyak kalangan muda yang mempraktekkan seks bebas dengan berbagai alasan yang melatarbelakangi mereka melakukannya. Kita melihat apa yang sebenarnya mempengaruhi perilaku mereka sehingga mereka melakukan seks bebas. Tapi, itu bukanlah pemecah masalah. Malah sering hal itu menjadi pembenaran atas pengaruh-pengaruh yang mendorong mereka melakukan seks bebas bahkan menyudutkan mereka karena telah terpengaruh.
Baiknya kita melihat perilaku seks bebas dengan konteks sebagai konsep seks yang dimiliki tiap individu yang otonom. Artinya, tidak dipengaruhi oleh yang lain. Yang kemudian kita lakukan adalah tidak mengadili atau menghakimi perbuatan mereka, ttetapi melihat dengan bijaksana apa yang melatarbelakangi perbuatan itu. Bukan seks bebas yang harusnya diperdebatkan, melainkan justru kesadaran akan kesehatan reproduksi dan hak reproduksi yang dimiliki perempuan yang ingin melakukan hubungan seksual secara bebas itu yang penting dipahami.
Selama ini hak kontrol perempuan atas tubuhnya sendiri belum banyak dilakukan, karena peran dan posisi mereka yang dibedakan oleh masyarakat. Ketika wacana gender masuk dengan mengeritisi konsep pembedaan perlakuan perempuan dan laki-laki berdasarkan; apakah juga perempuan di Indonesia paham atas pilihan-pilihannya termasuk hak reproduksinya? Mungkin ya, mungkin tidak! Hal itu hanya dapat diketahui melalui penelitian kuantitatif dan kualitatif. Namun, yang dapat kita lakukan saat ini ialah tetap menyosialisasi hak-hak perempuan yang terkait dengan konsep gender sehingga penyadaran atas posisi dan peran mereka dalam memutuskan hak reproduktifnya terbangun secara perlahan-lahan. (DY)
Reproduksi memiliki dua rumusan persoalan, yaitu reproduksi biologis dan sosial. Reproduksi biologis berkaitan dengan fungsi seksualitas tubuh perempuan untuk melahirkan anak atau melakukan regenerasi. Untuk melahirkan anak, perempuan melakukan hubungan seksual dengan laki-laki sebagai bagian dari proses reproduksi biologis. Reproduksi sosial adalah fungsi seksualitas tubuh perempuan yang berhubungan dengan peran sosial (Mariana Amiruddin, Kesehatan dan Hak Reproduksi Perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan dan The Japan Foundation, 2003).
Berkaitan dengan reproduksi sosial ini perempuan banyak terabaikan. Dengan pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki, akhirnya menempatkan perempuan di wilayah domestik. Kemudian terjadi ketertindasan perempuan dalam menentukan hak reproduksi biologisnya. Hak reproduksi biologis perempuan sering dianggap sebagai hak politik laki-laki sehingga perempuan tidak berhak untuk mengendalikan tubuhnya sendiri. Artinya, perempuan tidak memiliki hak untuk hamil, membatasi kehamilan, menentukan alat kontrasepsi apa yang cocok dalam membatasi kehamilan, melakukan hubungan seksual, melakukan aborsi hingga menolak penyunatan perempuan (genital mutilation). Sesungguhnya, hak reproduksi berarti hal yang sangat “personal” bagi perempuan, karena bagian dari tubuhnyalah yang menjadi pokok persoalan untuk dibahas.
Hak reproduksi perempuan baik biologis maupun sosial, dipandang sebagai hak prerogatif negara. Untuk menjawabnya, Konferensi Kependudukan Dunia tahun 1994 di Kairo mengeluarkan konsensus Internasional yang menyatakan bahwa tiap negara wajib memperhatikan masalah reproduksi perempuan dengan memberinya posisi tawar untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi. Konvensi tersebut membuat dua definisi mengenai kesehatan reproduksi yaitu:
1. Keadaan kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi-fungsi dan prosesnya.
2. Kemampuan orang untuk memperoleh kehidupan seks yang memuaskan dan aman, bereproduksi dan bebas untuk memutuskan kapan dan seberapa sering mereka akan memperoleh anak.
Kesehatan Reproduksi Perempuan Terabaikan
Pembahasan ataupun wacana mengenai kesehatan reproduksi sendiri masih jarang diketemukan apalagi menyangkut hak reproduksi perempuan. Yang sering diperbincangkan adalah sebatas hak reproduksi berkaitan dengan pembatasan kehamilan seorang ibu dan alat kontrasepsi yang akan dipakai. Namun, hak reproduksi sebagai keutuhan hak perempuan sendiri jarang dibicarakan.
Hak reproduksi perempuan berdasarkan hasil kesimpulan Konferensi International tentang Populasi dan Pembangunan (ICPD) PBB di Kairo tahun 1994 dan Konferensi ke-4 tentang Perempuan (FWCW) di Beijing tahun 1995, terdapat beberapa penjelasan mengenai hak reproduksi, yakni:
- Hak untuk hidup, bebas dan rasa aman
- Hak untuk bebas dari diskriminasi berdasarkan gender (pembedaan peran dan posisi perempuan berdasarkan rekonstruksi sosial)
- Hak atas kesehatan, kesehatan reproduksi dan keluarga berencana
- Hak untuk mengubah adat-kebiasaan diskriminatif terhadap perempuan
- Hak untuk menikah dan memulai kehidupan berkeluarga
- Hak untuk memutuskan jumlah anak
dan rentang waktu antar kelahiran
- Hak untuk tidak menjadi korban penyiksaan atau perlakuan lainnya yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan
- Hak untuk bebas dari kekerasan dan eksploitasi seksual
- Hak untuk menikmati perkembangan sains dan melakukan eksperimentasi (Vicki J Semler, Hak-hak Asasi Perempuan: Sebuah Panduan Konvensi-konvensi Utama PBB tentang Hak Asasi Perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan, 2001)
Ketika kalangan feminis memperjuangkan isu tersebut, sebagai bagian dari hak perempuan, maka tampak bahwa telah terjadi beberapa pelanggaran atas hak itu. Misalnya, penggunaan alat-alat kontrasepsi yang tidak sesuai dengan kondisi para ibu atau resiko dalam melakukan aborsi yang tidak aman. Salah satu isu besar berkaitan dengan hak kesehatan reproduksi, yaitu penggunaan alat kontrasepsi yang dilakukan dengan cara pemaksaan oleh pemerintah. Hal demikian terjadi pada 1970-an dengan alasan pengendalian pertumbuhan penduduk (Komnas Perempuan, Peta Kekerasan: Pengalaman Perempuan Indonesia, Oktober 2002).
Pentingnya Pendidikan Seks
Ketika kita berbicara mengenai hak reproduksi, tentu itu akan terkait dengan masalah pendidikan seks. Di dalam sistem pendidikan kita, pendidikan seks bukanlah pendidikan yang penting dibandingkan dengan pendidikan lainnya. Para petinggi negara melihat bahwa pendidikan seks tidak perlu diformalkan dalam sistem pendidikan di sekolah, terutama ketika para siswa dalam masa pertumbuhannya atau saat fungsi alat reproduksinya mulai berkembang. Namun, akhirnya, para siswa mencari tahu sendiri mengenai pelajaran seks yang informasinya kerap menyesatkan mereka.
Dalam ketidaktahuan tersebut, lebih baik bila pengetahuan mengenai seks diinformasikan dengan jelas dan benar agar tidak terjadi kesalahpahaman tentang fungsi alat reproduksi, hak kesehatan reproduksi, manfaat dan kerugian penggunaan hak reproduksi dan alat reproduksi. Sistem pendidikan itu sebenarnya juga diberlakukan di negara-negara lain, terutama negara yang dianggap masih menjunjung adat timur, seperti di Cina. Maraknya situs porno belakangan ini telah meresahkan keluarga apalagi pihak yang paling banyak menikmatinya adalah kalangan remaja. Lalu pemerintah melakukan tindakan dengan memberantas situs porno bersangkuta. Tapi, perlu dicermati bahwa situs porno lahir dari keingintahuan kalangan remaja akan seksualitasnya. Ketika mereka menyadari seksualitas dirinya, saat itulah pencarian untuk mengetahui lebih mendalam yang berkenaan dengan seksualitas itu dilakukan. Bila pemerintah menyadari hal ini, seharusnya ia mampu menyediakan sebuah ruang dalam sistem pendidikan nasional untuk pendidikan seks di sekolah-sekolah di Indonesia.
Data Kantor Statistik Cina menunjukkan bahwa 92,5 persen pelajar sulit menemukan sendiri pemecahan masalah yang berhubungan dengan seksualitasnya. Hanya 2,6 persen yang memperoleh informasi tentang itu dari orangtua mereka, meskipun belum tentu benar (Kompas, Jum’at 13 Agustus 2004 hal 19.).
Pembicaraan mengenai seks merupakan hal yang tabu. Pelajaran seks dianggap tidak perlu. Perilaku "seks bebas" pun berkembang (berganti-ganti pasangan; melakukan hubungan dengan pasangannya tidak dalam ikatan pernikahan dan melakukan hubungan seksual tanpa pengaman). Keingintahuan dan kepuasan akan seks tersalurkan dengan “seks bebas” tanpa siap menerima konsekuensinya. Seks merupakan kebutuhan primitif bagi manusia dan pengendaliannya perlu agar tidak merugikan kehidupan manusia itu sendiri. Pengenalan mengenai seks sangat diperlukan. Dengan memperkenalkan hak reproduksi dan alat reproduksi kepada siswa melalui wacana seks.
Seks bebas masih dianggap melanggar kesusilaan, budaya dan agama dalam masyarakat di Indonesia. Namun, kita tidak bisa menutup mata begitu saja bahwa banyak kalangan muda yang mempraktekkan seks bebas dengan berbagai alasan yang melatarbelakangi mereka melakukannya. Kita melihat apa yang sebenarnya mempengaruhi perilaku mereka sehingga mereka melakukan seks bebas. Tapi, itu bukanlah pemecah masalah. Malah sering hal itu menjadi pembenaran atas pengaruh-pengaruh yang mendorong mereka melakukan seks bebas bahkan menyudutkan mereka karena telah terpengaruh.
Baiknya kita melihat perilaku seks bebas dengan konteks sebagai konsep seks yang dimiliki tiap individu yang otonom. Artinya, tidak dipengaruhi oleh yang lain. Yang kemudian kita lakukan adalah tidak mengadili atau menghakimi perbuatan mereka, ttetapi melihat dengan bijaksana apa yang melatarbelakangi perbuatan itu. Bukan seks bebas yang harusnya diperdebatkan, melainkan justru kesadaran akan kesehatan reproduksi dan hak reproduksi yang dimiliki perempuan yang ingin melakukan hubungan seksual secara bebas itu yang penting dipahami.
Selama ini hak kontrol perempuan atas tubuhnya sendiri belum banyak dilakukan, karena peran dan posisi mereka yang dibedakan oleh masyarakat. Ketika wacana gender masuk dengan mengeritisi konsep pembedaan perlakuan perempuan dan laki-laki berdasarkan; apakah juga perempuan di Indonesia paham atas pilihan-pilihannya termasuk hak reproduksinya? Mungkin ya, mungkin tidak! Hal itu hanya dapat diketahui melalui penelitian kuantitatif dan kualitatif. Namun, yang dapat kita lakukan saat ini ialah tetap menyosialisasi hak-hak perempuan yang terkait dengan konsep gender sehingga penyadaran atas posisi dan peran mereka dalam memutuskan hak reproduktifnya terbangun secara perlahan-lahan. (DY)