Sepanjang zaman, manusia bertanya “siapakah Aku?” tradisi keagamaan menjawabnya dengan menukik ke dalam, “wujud spiritual, ruh”. Praktik-praktik keagamaan mengajarkan kita untuk menyambungkan diri kita dengan bagian terdalam ini. Psikologi modern menjawab dengan menengok ke dalam (tidak terlalu dalam), self, ego, eksistensi psikologis
Psikologi transpersonal menggabungkan kedua jawaban ini. Ia mengambil pelajaran dari semua angkatan psikologi dan kearifan perenial agama dan mengajarkan praktik-praktik untuk mengantarkan manusia pada kesadaran spiritual, di atas id, ego, dan superego.
Islam sebagai agama yang besar memberikan banyak metode untuk mencapai kualitas manusia yang tinggi. Islam tidak hanya memperhatikan aspek luarnya saja (eksoterik) seperti rukun sholat, zakat, haji namun juga sisi isoteriknya seperti pembinaan hati, ketakwaan, kesabaran, keikhlasan, dan kepasrahan. Dengan pembinaan sisi isoterik ini Islam mampu mengantarkan seseorang memiliki keuletan, keberanian, dan ketenangan yang luar biasa dalam menghadapi permasalahan hidup (Hamdani, 1989)
Bertafakur merupakan salah satu cara untuk lebih mendalami ajaran-ajaran isoterik Islam. Dimana dalam bertafakur ini seseorang diajak memahami sesuatu kejadian tidak hanya sebatas empiris tapi lebih dari itu, pemahaman secara transendental (An-Najar, 2001).
Dalam psikologi, tafakur sering dikaitkan dengan aktifitas kognitif yaitu berpikir namun dalam bertafakur tidak hanya sebatas berpikir saja melainkan juga aktivitas afektif. Menurut Imam Al-Ghazali (dalam Badri,1989), jika ilmu sudah sampai pada hati, keadaan hati akan berubah, jika hati sudah berubah, perilaku anggota badan juga akan berubah. Perbuatan mengikuti keadaan, keadaan akan mengikuti ilmu dan ilmu mengikuti pikiran, oleh karena itu pikiran adalah awal dari kunci segala kebaikan dan caranya adalah dengan bertafakur.
Tafakur
Bertafakur tentang ciptaan Allah SWT merupakan ibadah mulia yang diserukan Islam. Oleh karena itu, tidaklah heran jika dalam Al-Quran, dalam beberapa ayatnya, kita menemukan perintah untuk bertafakur dan merenungkan segala ciptaan Allah SWT di langit dan di bumi. Al-Quran dalam beberapa ayatnya menggerakan hati manusia dengan mengingat keagungan-Nya. Dalam surat Ali Imron ayat 190-191, Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkannya tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “ya Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
Mentafakuri penciptaan langit dan bumi serta segala peristiwa yang terjadi di dalamnya merupakan suatu hal yang tidak dibatasi oleh faktor waktu dan ruang. Tafakur merupkan ibadah yang bebas. Seorang mukmin bebas dan merdeka untuk melihat dan berimajinasi, tafakur merupakan pengembaraan pikiran intuitif yang dapat menghidupkan dan menyinari mata hati ketika pikiran menerobos dinding-dinding tanda kekuasaan Allah (Badri, 1989).
Sebagaimana kegiatan berpikir adalah kunci kebaikan dan amal saleh, ia juga merupakan pangkal segala perbuatan maksiat lahir dan batin. Oleh karena itu hati yang selalu merenung atau bertafakur tentang ketinggian dan keagungan Allah serta selalu memikirkan kehidupan akhirat, akan dapat membongkar dengan mudah niat-niat jahat yang terlintas dalam benaknya. Karena ia memiliki kepekaan dan ketajaman sebagai hasil zikir dan tafakurnya .
Dalam proses tafakur seorang mukmin akan memanfaatkan pengalaman-pengalaman lamanya dan menghubungkannya dengan persepsinya terhadap segala ciptaan yang sedang ia renungkan, melalui rumusan bahasa yang ia digunakan. Dia menghubungkan persepsi yang didapatinya dari tafakurnya itu dengan gambaran lamanya, sekaligus sebagai bahan untuk mendapatkan kemungkinan positif untuk hidup di kemudian hari. Semua ini berproses dengan penuh cinta, rasa takut, dan tanggungjawab kepada Allah SWT. Oleh karena itu Imam Al-Ghazali (dalam Badri 1989) menegaskan bahwa tafakur adalah menghadirkan dua macam pengetahuan di dalam hati untuk merangsang timbulnya pengetahuan yang ketiga. Dalam hal ini dapat penulis contohkan, ada seseorang yang begitu mementingkan kehidupan dunia, tetapi ia ingin membuktikan bahwa kehidupan akhirat lebih utama dan harus didahulukan. Pertama, ia harus mengetahui bahwa yang lebih kekal adalah yang lebih penting. Kedua, bahwa akhirat itu lebih kekal. Dari kedua pengetahuan ini akan didapatkan pengetahuan ketiga, yaitu akhirat lebih penting. Jadi, pengetahuan baru akan muncul bila ada pengembangan dua premis pengetahuan sebelumnmya.
Seseorang yang memiliki pengetahuan yang keliru atau kurang memadai tingkat keilmuannya dapat mengakibatkan seseorang menjadi sesat atau tidak mendapatkan apa-apa dalam bertafakur. Seseorang yang tidak memiliki pengetahuan tentang sifat-sifat Allah akan kesulitan dalam menafsirkan beberapa kejadian alam semesta, bisa jadi musibah yang dia terima merupakan kemarahan Allah atas dirinya, padahal musibah itu bisa jadi pelajaran bagi dirinya. Tafakur dasarnya adalah ilmu sehingga Islam menganjurkan untuk terus menerus mencari ilmu sebagai bahan tafakurnya.
a. Fase-fase dalam bertafakur
Menurut Badri (1989) perwujudan tafakur melalui 4 fase yang saling berkait yaitu :
1. Pengetahuan awal yang didapat dari persepsi empiris langsung yaitu melalui alat pendengaran, alat raba, atau alat indera lainnya
2. Tadlawuk artinya pengungkapan rasa kekaguman terhadap ciptaan atau susunan alam yang indah dari apa yang dilihat atau didengar.
3. Penghubung antara perasaan kekaguman akan keindahan dengan pencipta yang Mahaagung
4. Syuhud artinya seseorang yang bertafakur, hatinya terbuka untuk menyaksikan keagungan Allah dan dia bersaksi bahwa Dialah yang memberi segala kebaikan. Pada fase ini setiapkali pandangan tertuju pada makhluk Allah, yang dilihatnya adalah pencipta-Nya dan segala sifat keagungan-Nya.
Dari tahapan tafakur diatas secara jelas dapat penulis terangkan sebagai berikut : jika seseorang memperdalam cara melihat dan mengamati sisi-sisi keindahan, kekuatan, dan keistimewaan lainnya yang dimiliki sesuatu, berarti ia telah berpindah dari pengetahuan yang inderawi menuju rasa kekaguman (tadlawuk) di mana pada fase ini adalah fase bergejolaknya perasaan. Kalau dengan perasaan ia berpindah menuju sang pencipta dengan penuh kekhusyukan sehingga dapat merasakan kehadiran Allah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi, berarti ia sudah berada pada fase ketiga. Untuk menuju fase selanjutnya seseorang harus membiasakan dalam bertafakur sehingga seseorang tersebut melihat semua yang ada di sekitarnya menjadi motivasi berfikir dan bertafakur yang pada akhirnya akan melahirkan sikap perasaan keagungan akan Tuhan.
b. Perbedaan Individu dalam Bertafakur
Kualitas tafakur seseorang dengan orang lain pada suatu saat akan berbeda hal tersebut menurut Badri (1989) disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:
1. Kedalaman iman.
Kedalaman pikiran dan renungan pertama kali bergantung pada derajat iman seseorang dan hubungan dia dengan Allah. Ini merupakan hal pribadi yang hanya diketahui oleh Allah dan orang itu. Tafakur yang dilakukan dalam kondisi emosional-spiritual yang tinggi, semakin mudah baginya untuk mencapai i’tibar (mengambil pelajaran). Pada kondisi ini seseorang berada antara zikir dan fikir, keadaan emosional semacam ini dapat terus memuncak pada tingkatan yang lebih tinggi.
2. Kemampuan memusatkan pikiran
Tafakur membutuhkan daya konsentrasi terhadap objek tafakurnya. Seseorang yang memiliki daya konsentrasi yang kuat dan tahan lama akan mendapatkan pencerahan lebih banyak dan lebih mendalam.
3. Kondisi emosional dan rasional
Tafakur memerlukan ketenangan, ketentraman jiwa, serta kesehatan fisik serta psikologis. Seseorang yang sedang mengalami gelisah, sedih, ketakutan, atau mengalami gangguan-gangguan saraf lainnya tidak dapat berpikir dan bertafakur dengan tajam dan penuh konsentrasi
4. Faktor lingkungan
Lingkungan yang tidak bersih, terlalu ramai, sesak tidak kondusif untuk seseorang yang sedang melakukan tafakur dan berkonsentrasi. Kesibukan dalam keseharian juga sangat mempengaruhi terhadap kemampuan bertafakur.
5. Bimbingan
Seseorang yang berniat untuk meningkatkan kualitas kejiwaannya harus dibimbing oleh seorang yang sudah berkualitas kejiwaannya juga. Menurut Imam Al-Jauziah cahaya atau nur akan melimpah dari seorang yang jiwanya berkualitas, baik dengan berguru kepadanya atau sekedar bergaul dengannya. Bimbingan ini sangat penting, sebab tafakur membutuhkan premis-premis yang benar, bila premisnya saja sudah salah maka hasil sintesanya pun akan salah juga dan bila ini berlanjut terus maka orang tersebut akan tersesat.
6. Objek tafakur
Dalam memilih objek tafakur sebaiknya memilih objek yang mampu diolah oleh kemampuan kognitifnya, semakin abstrak objeknya maka semakin sulit pula untuk mendapatkan manfaat dari tafakur tersebut.
Psikologi Transpersonal
Sejak 1969, ketika Journal of Transpersonal Psychology terbit untuk pertama kalinya, psikologi mulai mengarahkan perhatiannya pada dimensi spiritual manusia. Penelitian yang dilakukan untuk memahami gejala-gejala ruhaniah seperti peak experience, pengalaman mistis, ekstasi, kesadaran ruhaniah, kesadaran kosmis, aktualisasi transpersonal pengalaman spiritual dan kecerdasan spiritual (Zohar, 2000).
Menurut Maslow pengalaman keagamaan meliputi peak experience, plateu, dan farthest reaches of human nature. Oleh karena itu psikologi belum sempurna sebelum memfokuskan kembali dalam pandangan spiritual dan transpersonal. Maslow menulis (dalam Zohar, 2000) , “I should say also that I consider Humanistic, Third Force Psychology, to be trantitional, a preparation for still higher Fourth Psychology, a transpersonal, transhuman, centered in the cosmos rather than in human needs and interest, going beyond humanness, identity, self actualization, and the like”.
Psikologi transpersonal lebih menitikberatkan pada aspek-aspek spiritual atau transendental diri manusia. Hal inilah yang membedakan konsep manusia antara psikologi humanistik dengan psikologi transpersonal. McWaters (dalam Nusjirwan, 2001) membuat sebuah diagram yang berbentuk lingkaran dimana setiap lingkaran mewakili satu tingkat berfungsinya manusia dan tingkat kesadaran diri manusia.
Keterangan:
PERSONAL
1
Fisikal : berfungsinya panca indera
2
Emosional : kasih sayang, kemarahan, kesedihan dst
3
Intelek : berpikir
4
Pengintegrasian pribadi kapasitas pencapaian kesempurnaan di dunia
TRANSPERSONAL
5
Intuisi : empati, ESP,
6
Fenomena parapsikologi
7
Penghayatan kesatuan universal
8
Penunggalan (?), penghayatan simultasn semua dimensi
Tiap tingkat dari bagan diatas menunjukkan tingkat fungsi dan tingkat kesadaran manusia. Lingkaran 1,2 dan 3 berturut-turut mewakili aspek fisikal, aspek emosional dan aspek intelektual dari kekuatan batin individu. Lingkaran 4 menggambarkakn pengintegrasian dari lingkaran 1, 2, dan 3 yang memungkinkan individu berfungsi secara harmonis pada tingkat pribadi. Keempat lingkaran ini termasuk dalam kawasan personal manusia.
Tingkatan berikutnya termasuk dalam kategori wilayah transpersonal manusia. Lingkaran 5 mewakili aspek intuisi. Pada aspek ini seseorang mulai samar-samar menyadari bahwa ia bisa mempersepsi tanpa perantara panca indera (extra sensory perception). Lingkaran 6 mewakili aspek energi psikis (kekuatan bathiniah) di mana individu secara jelas menghayati dirinya sebagai telah mentransendir/melewati kesadaran sensoris dan pada saat yang sama menyadari pengintegrasian dirinya dengan medan-medan energi yang lebih besar. Fenomena-fenomena para psikologi dapat dialami pada tingkat kesadaran ini. Lingkaran 7 mewakili bentuk penghayatan paling tinggi-penyatuan mistis atau pencerahan, di mana diri seseorang mentransendir dualitas dan menyatu dengan segala yang ada. Melewati ke tujuh tingkat yang disebutkan itu, dikatakan ada lagi tingkat pengembangan potensial dimana semua tingkat dihayati secara simultan.
Konsep dari McWater ini dapat menjelaskan bagaimana seseorang mencapai kualitas diri melalui metode tafakur. Ketika seseorang berada pada fase pertama dalam bertafakur berarti dia berada pada dunia fisik yaitu pengetahuan yang didapat dari fungsi indera. Sebuah kejadian akan dipersepsi secara empiris yang langsung melalui pendengaran, penglihatan atau alat indera lainnya, atau secara tidak langsung seperti pada fenomena imajinasi, pengetahuan rasional yang abstrak, yang sebagian pengetahuan ini tidak ada hubungannya dengan emosi.
Jika seseorang memperdalam cara melihat dan mengamati sisi-sisi keindahan, kekuatan, dan keistimewaan lainnya yang dimiliki sesuatu, berarti ia telah berpindah dari pengetahuan yang inderawi menuju rasa kekaguman (tadlawuk) dimana pada tahap ini adalah tahap bergejolaknya perasaan, di sini kita melihat bahwa tahap ini sesuai dengan tahap kedua dari McWater yaitu emosional. Pada tahap selanjutnya, dengan bertafakur aktivitas kognitif seseorang mulai dilibatkan, disinilah tafakur sangat berperanan dalam proses pengintegrasian ketiga komponen tadi yaitu fisik, emosi dan intelektual.
Kemudian jika hasil pengintegrasian seseorang ini ditransendensikan kepada Allah maka kualitas seseorang tadi akan meningkat dari personal menuju transpersonal. Badri (1989) mencontohkan seseorang yang sudah pada tahap transpersonal ini “perasaan kagum manusia terhadap keindahan dan keagungan penciptaan serta perasaan kecil dan hina di tengah malam, yang ia saksikan merupakan fitrah yang sudah diberikan Allah kepada manusia untuk dapat melihat semua yang ada di langit dan di bumi sehingga ia dapat menemukan sang pencipta, merasakan khusuk terhadap-Nya, dan dapat menyembah-Nya, baik karena takut atau karena cinta”.
Dari ungkapan tersebut dapat kita lihat bahwa seseorang yang mengakui bahwa keindahan itu adalah ciptaan Allah maka berarti dia sudah memasuki dunia transpersonal. Keberadaan Allah bukan lagi kerja kognitif tapi keyakinan atau intiutif, sehingga dengan keyakinan yang penuh akan menimbulkan penghayatan yang universal seperti mampu khusuk ketika beribadah, rasa cinta yang menggelora, hal ini seperti yang dirasakan Al-Halaj ketika cinta menggelora mengakibatkan dia merasa menyatu dengan Tuhan sehingga Al-Halaj mengatakan bahwa Tuhan itu saya dan Saya adalah Tuhan.
Penutup
Dari uraian di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa ibadah tafakur yang merupakan ibadah kognitif mampu meningkatkan kualitas diri bila ditransendenkan kepada Allah. Kemampuan mentransendenkan diri kepada Allah ini lah yang merupakan kunci terlampauinya wilayah personal menuju transpersonal sehingga potensi-potensi batiniah dapat diperoleh dan dimanfaatkan.
Daftar Pustaka
An-Najar. 2001. Ilmu Jiwa dalam Tasawuf (terjemahan). Jakarta : Pustaka Azzam
Badri, Malik. 1989. Tafakur : Perspektif Psikologi Islami (terjemahan). Bandung : Rosdakarya
Hamdani. 1989. Wihdah Asy Syuhud sebagai Esesnsi Ibadah. (Kumpulan Artikel). Tidak diterbitkan
Noesjirwan, joesoef. 2000. Konsep Manusia Menurut Psikologi Transpersonal (dalam Metodologi Psikologi Islami). Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Zohar, Danah., Marshal, Ian. 2000. SQ : Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan (terjemahan). Bandung : mizan
Home » psikoterapy » Tafakur Sebagai Sarana Transendensi