PERINGATAN hari kesehatan jiwa dunia yang jatuh pada tanggal 10 Oktober dan peringatan hari kesehatan jiwa nasional tanggal 9 November yang lalu, menunjukkan betapa pentingnya kesehatan jiwa bagi semua orang. Pada tanggal 12 November kita juga memperingati Hari Kesehatan Nasional (HKNS ke-41). Momentum peringatan ini mempunyai makna menyadarkan masyarakat akan pentingnya kesehatan. Seseorang dikatakan sehat jiwa jika mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat dan lingkungan. Penyesuaian diri yang baik berdampak pada terwujudnya keharmonisan fungsi jiwa, sanggup menghadapi masalah, merasa bahagia dan mampu diri. Banyak kali penderita sakit jiwa terlambat berobat sebab masyarakat selalu menghubungkan penyebab sakit dengan pengaruh setan, ilmu gelap atau hal-hal mistik/gaib lainnya. Selama masyarakat belum mengetahui tentang sehat dan sakit/gangguan jiwa dan bagaimana mendapatkan pertolongan medis, selama itu juga tindakan pencegahan sakit jiwa penting.
Menurut studi yang dilakukan Direktorat Kesehatan Jiwa, Departemen Kesehatan, penderita gangguan jiwa saat ini cenderung usia dini. Penyebab gangguan jiwa dilaporkan antara lain narkoba (44%), mental retardasi (34,9%), disfungsi mental (16,2%) dan disintegrasi mental (5,8%). Data survey the Indonesian psychiatris epidemiologic network, tahun 2004, angka gangguan jiwa orang dewasa 18,5% dari jumlah penduduk. Berdasarkan survai satu dari lima orang dewasa mengalami gangguan jiwa atau satu dari anggota keluarga mengalami gejala-gejala gangguan jiwa (Media Indonesia, 21 September 2005). Data ini menyadarkan kita pentingnya menjaga kesehatan jiwa di masa penuh tantangan, akibat berbagai kondisi seperti kenaikan BBM, terorisme, fundamentalisme dan pemboman, penyakit-penyakit baru yang menyerang manusia seperti flu burung, dan lain-lain. Slogan "mens sana in corpore sano" masih tetap up to date sebagai bahan refleksi bersama saat ini.
Bagaimana menjaga kesehatan jiwa
Semua orang mengenal tingkah laku wajar dan tak wajar pada dirinya dan orang lain. Tingkah laku seseorang dipelajari sepanjang proses kehidupannya ketika menghadapi krisis dan kecemasan akibat stressor. Menurut teori keperawatan, sehat dan sakit jiwa merupakan suatu rentangan yang sangat dinamis dari kehidupan seseorang. Pada ujung yang satu ada kondisi sehat jiwa, pada ujung lain ada kondisi sakit/gangguan jiwa. Sehat jiwa ditunjukkan seseorang oleh kemampuannya beradaptasi secara konstruktif terhadap stressor yang menimpa dirinya. Sakit jiwa ditunjukkan oleh seseorang yang maladaptif atau beradaptasi secara destruktif terhadap stressor yang menimpa dirinya. Kemampuan adaptasi dipelajari sepanjang hidup manusia, disebut sebagai mekanisme koping. Mekanisme koping yang konstruktif merupakan zat imunitas bagi jiwa seseorang. Seseorang yang menggunakan mekanisme ego yang negatif, cenderung mengembangkan perilaku maladaptif, sedang seseorang yang mengembangkan mekanisme koping task oriented akan mengembangkan perilaku adaptif.
Perilaku seseorang dipelajari dari interaksi dengan orang lain. Orang yang selalu berespon adaptif akan menetap menjadi perilaku yang olehnya dianggap wajar, tapi tidak dapat diterima oleh orang lain. Jika mengikuti sinetron TV yang kebanyakan berbau mistik atau gaib, dukun, tenaga dalam, dan lain-lain. Di media massa dapat dibaca kasus-kasus korupsi, pencurian, penipuan, perkosaan anak dan wanita, kekerasan terhadap wanita, pembunuhan, manipulasi politik, dan lain-lain. Keadaan lain seperti kemiskinan, kebodohan, penyakit-penyakit baru dalam masyarakat. Semua fenomena ini dapat mempengaruhi proses internalisasi perilaku maladaptif oleh masyarakat. Sesuatu yang tidak realistik seperti ini membahayakan kesehatan jiwa masyarakat. Hal ini ditunjang lagi oleh kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gangguan jiwa. Ketidaktahuan ini menyebabkan keterlambatan mencari bantuan medis, tanpa penderita sakit jiwa dianggap disebabkan oleh setan, kekuatan gaib, mistik, kuasa gelap yang hanya bisa ditolong oleh dukun, tim doa untuk mengusir setan. Akibatnya perilaku maladaptif tidak diubah melainkan menetapkan lebih kuat dalam diri seseorang yang sakit jiwa.
Ciri sehat jiwa menurut WHO adalah dapat menyesuaikan diri secara konstruktif, merasakan kepuasan dari usaha nyata, lebih puas memberi daripada menerima, hubungan antarmanusia yang saling menolong, menerima kekecewaan untuk pelajaran yang akan datang, mengarahkan rasa bermusuhan pada penyesalan yang kreatif dan konstruktif, serta mempunyai kasih sayang. Sehat jiwa menurut Jahoda adalah bersikap positif terhadap diri, mengalami pertumbuhan dan perkembangan sampai aktualisasi diri, memiliki integritas diri, otonomi, persepsi realitas dan environmental mastery (menguasai lingkungan). Cara memelihara kesehatan jiwa antara lain bersikap assertive, mampu solitude (menyepi), sehat fisik dan memiliki mekanisme koping (mekanisme pertahanan diri) yang adekuat.
Mens sana in corpore sano
terus-menerus. Ada lagi model medikal dan model keperawatan yang khusus dipelajari oleh dokter dan perawat.
Ada tiga aspek utama penentu pertahanan kesehatan jiwa seseorang masing-masing individu, interpersonal dan sosial budaya. Aspek individu, memiliki harga diri positif, vitalitas, hidup berarti, hidup yang harmonis, identitas yang positif dan faktor-faktor biologis terpenuhi. Aspek interpersonal, komunikasi yang efektif, keintiman, menolong orang lain dan keseimbangan antara ketergantungan dan kemandirian. Aspek budaya, rasa memiliki kelompok, suport antara anggota masyarakat, cukupnya sumber-sumber pemenuhan kebutuhan dalam masyarakat dan tidak ada tindakan kekerasan dalam masyarakat. Ketidakharmonisan pada ketiga aspek ini merupakan faktor predisposisi, jika ada stressor seperti kegagalan dalam hidup, akan timbul perilaku sebagai mekanisme koping mengatasi stressor.
Paradigma pencegahan gangguan jiwa yang dapat dipakai oleh setiap orang adalah paradigma pencegahan perilaku dan strategi pencegahan. Kelompok utama yang memerlukan pencegahan gangguan jiwa adalah anak-anak dan remaja, keluarga baru, kehidupan berkeluarga, wanita, dewasa pertengah/matang dan usila. Pencegahan perilaku diarahkan agar tidak terbentuk respon maladaptif. Perilaku khusus yang perlu dicegah adalah menolak diri sendiri, melukai orang lain, kebiasaan tidak sehat seperti makan berlebihan, mabuk-mabukan, menyalahkan orang lain, menunda-nunda sesuatu, banyak berdalih, kegagalan dalam berperan sebagai mahasiswa, orangtua, pekerja, terputusnya hubungan seperti suami-istri, orangtua-anak, pekerja-boss, dan lain-lain. Perasaan overreaksi/reaksi yang berlebihan seperti mudah panik, cemas pada situasi baru, mudah ngamuk-ngamuk, mudah melarikan diri dari sesuatu. Ketidakmampuan psikologis, seperti tidak bisa menerima sakit-penyakit, tidak punya kompensasi, mudahh frustrasi walau peristiwa normal. Strategi pencegahan sakit jiwa, melalui pendidikan kesehatan, perubahan lingkungan, dan sistem suport sosial yang ada. Pendidikan kesehatan dapat meningkatkan kompetensi respon adaptif, kemampuan kontrol diri, strategi koping yang efektif dan peningkatan harga diri. Perubahan lingkungan meliputi pemantapan ekonomi dan keuangan keluarga, mendapatkan pekerjaan atau pendidikan yang memadai, tempat kerja atau rumah baru, dan lain-lain. Sistem suport sosial yang diberikan dapat menghilangkan atau meminimalkan stressor pencetus dan faktor risikonya. Mensupport klien jiwa bertujuan menguatkan koping yang dimiliki, merujuk pada sistem suport sosial yang ada di masyarakat, seperti puskesmas, kelompok-kelompok yang ada, dll.
Seseorang yang sehat jiwa biasanya lebih tahan terhadap berbagai penyakit, stressor, konflik dan sebaliknya. Fungsi fisik dan psikis/jiwa saling mempengaruhi lewat jalur fisiologis tubuh dan perilaku sehat. Jalur fisiologis yang utama melalui sistem hormon, persarafan serta imunitas/kekebalan tubuh. Jalur perilaku sehat mencakut pola perilaku adaptif seperti olahraga, makan-minum-istirahat, hindari merokok, melakukan aktivitas seksual yang aman dan sehat serta pertolongan medis segera bila ada tanda-tanda atau gejala dini sesuai kondisi penyakit. Oleh karena itu, selayaknya disadari bahwa sehat jiwa suatu yang esensial dan merupakan bagian tak terpisahkan dari kesehatan individu, sebagai manusia yang holistik (Kompas, 7 Oktober 2005).